Senin, 21 April 2014

PEREMPUAN DAN SENJA



PEREMPUAN DAN SENJA


Pukul 07.00 pagi, aktivitas rutin Nugi berangkat ke kantor dengan kereta api. Orang tua yang duduk disamping Nugi bicara pada temannya.
“Perempuan jaman sekarang, maunya kerja biar dibilang keren, biar dibilang emansipasi, padahal anaknya dirumah terbengkalai”
“Iya, lagian mau seberapa banyak uang dicari ya?” temannya menimpali.
Nugi menelan ludah.
“Bukan! Saya tidak ingin, bukan saya yang ingin bekerja” tapi sayangnya jawaban itu hanya bisa terlontar dalam hati saja. Nugi menelan ludah, lagi.
Pukul 13.30 wib saat Nugi memandang jam dinding diruangannya. Terbesit keinginan untuk menelephone Satu, sang buah hati tercinta yang saat ini entah sedang apa. Tapi ah.. membayangkan mendengar suaranya saja sudah membuat jantung Nugi berdebar lebih kencang, apalagi benar-benar mendengar suaranya, tak terbayangkan. Hal itu akan membuat sayatan yang jauh lebih dalam daripada melihat Satu menangis meraung-raung saat pagi tadi ia pamit berangkat.
Pikiran Nugi melayang-layang, seandainya dirinya sekarang tengah berada dirumah, menyuapi makan siang untuk anaknya, melihat Satu tertawa atau bahkan menangis, menggantikan popoknya atau sekedar menyanyikan lagu anak-anak kesukaan Satu. Kerepotan yang ia rindukan. Bukannya malah mengurusi setumpuk kertas, mengangkat telephone yang berisik, berhaha hihi yang mereka sebut sosialisasi. Sudah.  Nugi mengakhiri khayalannya sendiri. Air matanya sudah nyaris luber.
“Gi, makan siang yuk” kepala Tantri nongol dipintu ruangan Nugi
“Duluan deh, ada kerjaan nih” Nugi mengelak, tersenyum manis
“Iya dehh.. yang baru dipromosiin” Tantri tertawa
Nugi hanya tersenyum.

Iya, baru sebulan lalu Nugi dipromosikan untuk naik jabatan. Hanya dalam waktu 1 tahun Nugi sudah naik jabatan. Semua orang tidak heran. Apalagi Tantri yang merupakan teman SMA Nugi. Sejak sekolah memang Nugi sudah terkenal sebagai perempuan yang pintar, secara akademis maupun secara skill. Saat kuliah selesai, hampir semua  teman-teman Nugi sibuk melamar pekerjaan, namun Nugi justru sibuk memilih pekerjaan yang akan dipilihnya. Hal yang dibanggakan orang tuanya, saudara-sudaranya, tentu suaminya.
Tapi tak seperti yang diirikan oleh orang lain, Nugi justru merutuki dirinya kenapa harus terlahir sebagai perempuan yang pintar. Ia berpikir, jika ia tak terlahir pintar, pasti suaminya tidak memaksanya untuk terus mengembangkan potensinya. Tidak memaksanya untuk tetap bekerja sementara hatinya teriris perih setiap kali ingat Satu anaknya.
Sudah berulang kali Nugi meminta ijin pada suaminya untuk tidak bekerja, berkonsentrasi pada Satu dan keluarga. Secara materi, suaminya sudah lebih dari cukup bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga.. Tapi Suaminya menolak dengan alasan sayang terhadap potensi yang dimiliki Nugi. Suaminya ingin Nugi memiliki jabatan yang lebih agar bisa mengangkat derajat keluarga dimata keluarga besarnya.
Kata-kata serupa dengan yang didengar Nugi dikereta api pagi tadi entah sudah berapa kali ia dengar. Kenapa ketika perempuan bekerja, yang disalahkan hanya si perempuan saja. Tidak semua perempuan akan berteriak kegirangan ketika bekerja. Tidak semua perempuan bercita-cita untuk bekerja setinggi langit. Mungkin hatinya sebagai  perempuan justru ingin pulang. Menunggu suami pulang saat senja. Bukan menikmati senja di kereta api, seperti Nugi.

-Saya pasti pulang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Nasib.

Sudah terima nasib saja. Orang pendiam pasti galak, orang galak pasti lebih banyak salahnya . Pada suatu pagi di hari Minggu. Minggu yang su...