PEREMPUAN DAN SENJA
Pukul 07.00 pagi, aktivitas rutin Nugi berangkat ke kantor
dengan kereta api. Orang tua yang duduk disamping Nugi bicara pada temannya.
“Perempuan jaman sekarang, maunya kerja biar dibilang keren,
biar dibilang emansipasi, padahal anaknya dirumah terbengkalai”
“Iya, lagian mau seberapa banyak uang
dicari ya?” temannya menimpali.
Nugi
menelan ludah.
“Bukan!
Saya tidak ingin, bukan saya yang ingin bekerja” tapi sayangnya jawaban itu
hanya bisa terlontar dalam hati saja. Nugi menelan ludah, lagi.
Pukul
13.30 wib saat Nugi memandang jam dinding diruangannya. Terbesit keinginan
untuk menelephone Satu, sang buah hati tercinta yang saat ini entah sedang apa.
Tapi ah.. membayangkan mendengar suaranya saja sudah membuat jantung Nugi
berdebar lebih kencang, apalagi benar-benar mendengar suaranya, tak
terbayangkan. Hal itu akan membuat sayatan yang jauh lebih dalam daripada
melihat Satu menangis meraung-raung saat pagi tadi ia pamit berangkat.
Pikiran
Nugi melayang-layang, seandainya dirinya sekarang tengah berada dirumah,
menyuapi makan siang untuk anaknya, melihat Satu tertawa atau bahkan menangis,
menggantikan popoknya atau sekedar menyanyikan lagu anak-anak kesukaan Satu. Kerepotan
yang ia rindukan. Bukannya malah mengurusi setumpuk kertas, mengangkat
telephone yang berisik, berhaha hihi yang mereka sebut sosialisasi. Sudah. Nugi mengakhiri khayalannya sendiri. Air
matanya sudah nyaris luber.
“Gi, makan siang yuk” kepala Tantri
nongol dipintu ruangan Nugi
“Duluan deh, ada kerjaan nih” Nugi
mengelak, tersenyum manis
“Iya dehh.. yang baru dipromosiin”
Tantri tertawa
Nugi
hanya tersenyum.
Iya,
baru sebulan lalu Nugi dipromosikan untuk naik jabatan. Hanya dalam waktu 1
tahun Nugi sudah naik jabatan. Semua orang tidak heran. Apalagi Tantri yang
merupakan teman SMA Nugi. Sejak sekolah memang Nugi sudah terkenal sebagai
perempuan yang pintar, secara akademis maupun secara skill. Saat kuliah selesai, hampir semua teman-teman Nugi sibuk melamar pekerjaan,
namun Nugi justru sibuk memilih pekerjaan yang akan dipilihnya. Hal yang
dibanggakan orang tuanya, saudara-sudaranya, tentu suaminya.
Tapi
tak seperti yang diirikan oleh orang lain, Nugi justru merutuki dirinya kenapa
harus terlahir sebagai perempuan yang pintar. Ia berpikir, jika ia tak terlahir
pintar, pasti suaminya tidak memaksanya untuk terus mengembangkan potensinya.
Tidak memaksanya untuk tetap bekerja sementara hatinya teriris perih setiap
kali ingat Satu anaknya.
Sudah
berulang kali Nugi meminta ijin pada suaminya untuk tidak bekerja,
berkonsentrasi pada Satu dan keluarga. Secara materi, suaminya sudah lebih dari
cukup bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga.. Tapi Suaminya menolak dengan
alasan sayang terhadap potensi yang dimiliki Nugi. Suaminya ingin Nugi memiliki
jabatan yang lebih agar bisa mengangkat derajat keluarga dimata keluarga
besarnya.
Kata-kata
serupa dengan yang didengar Nugi dikereta api pagi tadi entah sudah berapa kali
ia dengar. Kenapa ketika perempuan bekerja, yang disalahkan hanya si perempuan
saja. Tidak semua perempuan akan berteriak kegirangan ketika bekerja. Tidak
semua perempuan bercita-cita untuk bekerja setinggi langit. Mungkin hatinya
sebagai perempuan justru ingin pulang.
Menunggu suami pulang saat senja. Bukan menikmati senja di kereta api, seperti
Nugi.
-Saya pasti pulang-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar