Selasa, 02 September 2014

Kurang melihat dunia

Barusan nemuin facebooknya temen lama. Lamaaaa banget. Terakhir ketemu dalam kondisi yang mencekam. Heheh.. lebay ya. Ya menurut saya cukup mencekam, terakhir saya kerumahnya, dia nggak mau nemuin saya. Padahal saya dan dia jarang banget ketemu. Sekalinya ketemu pas lebaran dia malah nggak mau nemuin saya. 

Bla bla bla... (Ceritanya beberapa tahun kemudian)

Saya beranikan diri kirim pesan ke FB dia. Dia balas lho. Panjang lebar. Yang intinya dia minta maaf terakhir kali ketemu nggak mau nemuin karena dia lagi ngambek berat hubungannya sama si pacar nggak direstuin orang tua. Sekarang dia sudah nikah dan tinggal di Jogja (Lho, yang bagian ini kan cita-cita saya kenapa terwujudnya ke dia? Hehe). 

Sesaat setelah saya baca pesan dia yang panjang lebar, saya agak "kehilangan" sesuatu yang keciiiill, yang sembunyi dalam hati yang pualing dalam. Saya merindukan sesuatu. Saya melewatkan sesuatu rupanya. Melewatkan indahnya dunia setelah ketemu dunia yang juga indah (dunia bersama keluarga saya). 

Saya mungkin tak bisa punya waktu luang lagi sekarang untuk melihat dunia. Waktu saya habis bis bis bis sampai ke dasarnya (Bahkan suami saya bilang, kiki buat ngupil aja kayaknya nggak sempat, hahaha). Ya, saya tak akan sempat lagi melihat dunia sendirian seperti waktu dulu. Tapi mungkin jika saya bawa serta keluarga saya melihat dunia, mendengarkan angin, merenungi sore, bersama-sama, itu sangat bisa. 

-Saya pasti pulang-

Senin, 01 September 2014

Menghargai pekerjaan

kemarin nganter suami motong celana jeans barunya. Maklum ye, keluarga mini. Nggak saya nggak suami, kalo beli celana pasti langsung potong.

Letak tukang potong celana jeans nya itu diemperan toko. Ditrotoar. Persis didepan troroar itu jalan besar (iyalah), jalur pantura. Mesin jahitnya udah reyot. Tempat benangnya berdebu, kayaknya cukup tu debu buat tayamum satu kampung.

Tapi bukan itu poin yang akan saya ceritakan. Poinnya disini justru adalah tukang jahitnya itu sendiri. Diantara setumpuk peralatan lapuknya, dia terlihat sangat mencolok dengan jam tangan warna emas, baju olah raga merah yang dimasukan kedalam celana jeans. Dan tentu ikat pinggang mengkilap lap lap. Jangan ketinggalan, sepatu pantofel yang bersih tanpa setitik nodapun. 

Saya rasa banyak orang mensyukuri pekerjaan. Dengan cara jadi pekerja yang loyal misalnya. Tapi hanya sedikit orang yang menghargai pekerjaan seperti bapak tukang jahit ini. 

Padahal bapak tukang jahit ini ada di emperan, siapa yang akan ketemu dengan dia? selain ibu-ibu yang beli celana di pasar kebesaran (kan nggak mungkin bupati permak jeans disini), siapa yang akan mecat dia kalo nggak pake baju rapi? nggak ada! 

Ya.. ya.. saya jadi malu sama bapak itu. Tas mahal (menurut kelas saya), sepatu mahal (menurut dompet saya), tapi seragam belepotan. Saya berpikir selama ini yang penting adalah kemampuan, kemampuan, kemampuan. Bukan bagaimana saya terlihat. Saya lupa bagaimana menghargai pekerjaan saya.


-Saya pasti pulang-

Terima Nasib.

Sudah terima nasib saja. Orang pendiam pasti galak, orang galak pasti lebih banyak salahnya . Pada suatu pagi di hari Minggu. Minggu yang su...