Senin, 01 September 2014

Menghargai pekerjaan

kemarin nganter suami motong celana jeans barunya. Maklum ye, keluarga mini. Nggak saya nggak suami, kalo beli celana pasti langsung potong.

Letak tukang potong celana jeans nya itu diemperan toko. Ditrotoar. Persis didepan troroar itu jalan besar (iyalah), jalur pantura. Mesin jahitnya udah reyot. Tempat benangnya berdebu, kayaknya cukup tu debu buat tayamum satu kampung.

Tapi bukan itu poin yang akan saya ceritakan. Poinnya disini justru adalah tukang jahitnya itu sendiri. Diantara setumpuk peralatan lapuknya, dia terlihat sangat mencolok dengan jam tangan warna emas, baju olah raga merah yang dimasukan kedalam celana jeans. Dan tentu ikat pinggang mengkilap lap lap. Jangan ketinggalan, sepatu pantofel yang bersih tanpa setitik nodapun. 

Saya rasa banyak orang mensyukuri pekerjaan. Dengan cara jadi pekerja yang loyal misalnya. Tapi hanya sedikit orang yang menghargai pekerjaan seperti bapak tukang jahit ini. 

Padahal bapak tukang jahit ini ada di emperan, siapa yang akan ketemu dengan dia? selain ibu-ibu yang beli celana di pasar kebesaran (kan nggak mungkin bupati permak jeans disini), siapa yang akan mecat dia kalo nggak pake baju rapi? nggak ada! 

Ya.. ya.. saya jadi malu sama bapak itu. Tas mahal (menurut kelas saya), sepatu mahal (menurut dompet saya), tapi seragam belepotan. Saya berpikir selama ini yang penting adalah kemampuan, kemampuan, kemampuan. Bukan bagaimana saya terlihat. Saya lupa bagaimana menghargai pekerjaan saya.


-Saya pasti pulang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Nasib.

Sudah terima nasib saja. Orang pendiam pasti galak, orang galak pasti lebih banyak salahnya . Pada suatu pagi di hari Minggu. Minggu yang su...