Mulut kemana-mana, ia berlari lebih cepat dari kaki, ia terbang lebih cepat dari sayap, ia menyakiti lebih kejam ketimbang belati.
Bahkan saking hebatnya mulut, si empunya mulut tidak menyadari, ia telah menyayat ribuan hati, ia telah mencurahkan bergalon air mata, ia telah membuat doa-doa melayang tak berdaya.
Saya kadang merinding, si mulut didepan mata, mau menghindar tak bisa, mau menghadapi tak kuasa. Hingga suatu malam saya berencana, bagaimana kalo si mulut dibunuh saja? Tidak.. itu dosa. Kalo begitu, rencana B dan yang terakhir, bagaimana jika si telinga di tulikan saja? Hah, itu ide satu-satunya.
Maka, malam ini saya berpesta, seperti apapun mulut sampai di telinga saya, seperti apapun mulut menjerit pakai toa, seperti apapun ia berusaha membuat porak poranda, saya dan si adek tak mendengar. Hahaha.. Ayok dek kita tertawa
-Saya pasti pulang-