Rabu, 19 November 2014

Kangen teman saya #2

Galaunya udahan ah. Yang sudah berlalu biarkan berlalu, nanti juga lewat lagi (emang angkot). Memang nggak enak putus pertemanan.  Apalagi sadar diputuskannya telat. Kok bisa? 

Jadi ceritanya begini. Teman saya ini (maaf *mantan teman), sekitar setahunan yang lalu jadi jarang balas sms, ditelpon pun nggak pernah diangkat, ditag gambar di facebook no comment, di komentarin statusnya diacuhin (padahal yang lain nggak lho). 

Kata suami, mungkin pikiran saya yang terlalu negatif, kotor, ngeres, sadis, jahat, ah pokoknya angkara murka. Okelah saya coba melambatkan ritme. Mau nggak balas sms, monggo. Mau nomornya ganti, monggo. Pokoknya saya coba tahan diri buat nggak protes sama Teman saya ini (maaf *mantan teman). 

Tahu nggak? Tahan diri bagi saya itu seperti pengen kentut tapi banyak orang. Susah!

Dan! Disuatu siang yang nggak ada kerjaan, iseng-iseng liat dia update status di facebook, saya baca timeline nya. Dari atas ke bawah. Ke atas lagi. Ke bawah lagi. Pokoknya tu scroll mouse sampe minta ampun saking pusingnya. 

Jreng jreeeng.. di beberapa pembicaraan dengan teman dia, saya bisa ambil kesimpulan bahwa :
1. Dia anggap saya jahat
2. Dia anggap saya menganggu keanggunan dia
3. Dia bilang saya sudah dianggap sodara tapi kok malah *begituin dia

*begituin gimana saya nggak mau mereka-reka 

Saya nggak sakit hati sih dia bilang begitu. Perasaan saya ke dia itu, sayang banget sampe nggak perlu diungkapkan. Seperti saya sayang kakak-kakak saya, saya juga nggak pernah bilang kalo saya sayang mereka, kalo saya bilang mungkin mereka pikir saya mau mati besok.

Saya nggak bilang juga kalo saya nggak punya salah. Pernyataan dia yang pertama itu betul. Saya memang jahat. Saya egois selalu menceritakan masalah ke dia tanpa tahu dia juga punya masalah. Saya mengatur dia seolah saya ibunya (mengatur diri sendiri saja saya tak becus, betul?), Bahkan saya pernah membombardir cowok yang sedang dekat dengan dia hanya karena si cowok punya masalah sama saya (yang ini ceritanya panjang). Saya jahat? BETUL!

Poin kedua, saya menganggu keanggunan dia. Sepertinya juga betul. Jika dari dulu saya nggak deket-deket dia, dia mungkin nggak akan kena kesialan apapun. Akan hidup bahagia, sejahtera, sehat, aman, sentosa.

Poin yang ketiga, yang ini betul juga.

Baiklah. Setelah saya pikir, saya telaah, saya pikir lagi, saya telaah lagi. Selama seminggu lamanya, saya pikir saya nggak bisa menahan seseorang hanya karena saya butuh, sedangkan dia tidak butuh. Saya pikir saya nggak bisa memaksa seseorang sayang saya hanya karena saya sayang dia, Saya pikir saya tidak bisa memberi cap "sahabat" pada seseorang padahal dia anggap teman pun tidak. Ya sudahlah.

Saya juga nggak berminat mencari sahabat lain selain dia. Bagi saya sahabat tidak dalam daftar rencana. Ia dituntun Tuhan mencari muaranya sendiri. Lagipula tak semua makhluk mengerti, Tuhan menciptakan saya dalam keadaan aneh yang berkepanjangan. Kadang otak saya tidak sinkron dengan manusia normal pada umumnya. Ia berlari-lari sendiri, bermain dengan pongah, berhenti ketika lelah.

Saya sedih sebenarnya. Jauh lebih sedih dari patah hati karena putus cinta (*ehm). Sedih sampai tidak bisa menangis. Sedih sampai hembusan nafas yang kubuang dalam dalam pun rasanya tidak bisa mendamaikan. Tapi yah, saya pikir ini juga masih dalam satu rentetan rencana Tuhan, pelajaran bagi saya, bahwa tak segala hal bisa dipaksa. 

Semoga mantan teman saya itu menemukan bahagianya, sehat selalu, lancar segala-galanya.

-Saya pasti pulang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Nasib.

Sudah terima nasib saja. Orang pendiam pasti galak, orang galak pasti lebih banyak salahnya . Pada suatu pagi di hari Minggu. Minggu yang su...