Selasa, 22 Mei 2012

And Then...

Kemarin saya bertemu dengan salah seorang teman. Seperti biasa, bertemu dengan teman semacam apapun, akan menghasilkan cerita. Pembicaraan yang kemana-mana akhirnya menemukan “sumbunya”.

Dia bercerita tentang teman dia lagi (yang saya nggak kenal), kata dia, teman dia itu memendam cinta pada seseorang, hingga akhirnya cewek itu berkeluarga, dia pun berkeluarga, teman dia itu tak pernah bisa menghapuskan rasa yang ada dalam hatinya. Pada puncaknya, ketika ia hendak meninggal dunia, malam harinya, ia mengungkapkan pada dia (teman saya) dengan bahasa puisi super indah bahwa cintanya pada cewek itu tak “tertanggulangi” (apapun keadaannya). Esoknya, ia meninggal dunia. Tamat.

Tamat? Benarkah? Itu urusan Tuhan.

Tapi semalaman saya yang notabene nggak kenal sama sekali dengan orang yang meninggal itu malah gulang guling tak bisa tidur memikirkannya. Ya.. Ya.. Ya.. Saya memang harus mengakui sangat sensitif mendengar hal-hal semacam ini. Mungkin, saya akan kagum dengan orang yang meninggal dunia itu ketika keadaannya, ia memendam cintanya hingga sehidup semati, dan dia memutuskan tidak berkeluarga (meskipun cewek itu berkeluarga).

Jadi bagaimana?

Jika pada akhir hayatnya saja yang ia ingat adalah cewek yang sudah jadi istri orang, berada diposisi manakah istri sah-nya? Sebagai pemanis suasana? Pemandu sorak? Pelengkap? Tempat penyalur hasrat sex? Atau apa?

Lalu, jika pada akhir hayatnya yang ia ingat adalah cewek yang sudah jadi istri orang, dimana penghargaannya pada istrinya yang sah yang telah mencucikan bajunya tanpa minta upah? Yang telah dengan sekuat tenaga menekan perasaannya agar sang raja bertahta dan memimpin dengan baik hidupya? Yang telah memberikan dengan sukarela keperawanannya?

Lah kok saya jadi sibuk mengkalkulasi? Hitung-hitungan? Haha. Pembicaraan seperti ini saya rasa nggak bisa dituliskan dengan artikel seupil semacam ini. Butuh waktu panjaaaaaang dan lamaaaaa. Dan kalo didebatkan pasti banyak liut muncrat-muncrat! Tapi saya rasa, dan cukup saya saja yang rasa, bahwa apa yang telah dilakukan oleh temannya teman saya (gimana sih?) itu, enggak adil, itu menyakiti, itu menyiksa, itu tidak usah dilakukan oleh siapapun insan didunia ini.

Whatever, saya yakin Tuhan punya kalkulasi yang lebih akurat ketimbang seorang saya yang hina dina, semoga engkau tenang disana, untung kamu enggak sempat kenal saya. 


-Saya pasti pulang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Nasib.

Sudah terima nasib saja. Orang pendiam pasti galak, orang galak pasti lebih banyak salahnya . Pada suatu pagi di hari Minggu. Minggu yang su...